Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 9

Eko Suryadi WS
(Kotabaru - Kalsel)

Di Batas Laut

kau rindukan kekosongan
di dada yang biru
lewat jari tanganku yang terbakar

aku larut ketika kau mengaca
menghias buih-buih yang mengelana
ada yang membekas ketika menatap
dari hampa ke rindu yang dikuburkan

waktu meraba bibirnya matahari
cuacamu berdetak keras
gugurkan mimpi laut

di batas laut satu sukma menyapaku
dari cahaya tubuhmu
biru

Kotabaru, 1981

Ellis Reni Artyana
(Bandung)

Wanita dan Kalajengking

Wanita itu menemukan anak-anak kalajengking di selangkangannya
Matanya masih saja berheran durja
Kalajengking-kalajengking itu melambaikan tangan mereka
Wanita itu tersenyum, di matanya hanya ada naluri seorang ibu

Satu persatu mereka menjepit kulit paha
si wanita merasa geli yang hebat
tawanya pecah seiring menyemburnya racun-racun
Tubuh wanita itu berguncang karena tawa
Hingga jepitan anak-anak kalajengking terlepas

Mereka jatuh dan hanyut oleh airmata wanita yang
tak sadar teralirkan
Wanita hanya mendapati pahanya yang biru-biru saja

Ia menangisi anak-anak kalajengking dengan parau
Di matanya hanya ada naluri seorang ibu


EM. Yogiswara
(Jambi)

Belajarlah, Anakku Soco

belajarlah menangis, anakku soco
sebab kita sudah kehilangan air mata
sumur yang mengalirkan keadilan dan kesengsaraan
kini mengering
berubah warna menjadi sumber mata air berbisa
: tangis tak sepenuhnya menitikan bening
dari padang alam yang menyihirkan cahaya-Nya

belajarlah mendengar, anakku soco
sebab gendang telinga kita sudah tertusuk
desah duka, lapar, dan erangan
: suara tak selamanya ikhlas mendalilkan ujud

belajarlah membaca, anakku soco
sebab mata kita sudah kehilangan jarak
dari penaklukan sepenggal harapan
belajarlah merasa anakku soco
sebab kita telah dibina tanpa rasa
: perjalanan hanya tuk menyambut senyum

belajarlah, anakku soco
sebab kelahiran sudah lama tertunda
dihapus keping rindu tanpa rasa
: usah terapung di kegelapan dunia
sebab gelembung bayang tak kan terima cahaya

Endang Supriadi
(Depok)

Jauh Ke Ujung Sunyi

aku meninggalkanmu jauh ke ujung sunyi
berbekal lempengan dendam yang berkarat
tak peduli lagi aku pada tanah yang belum
selesai kugali, masa bodoh dengan airmata
yang menetes di pintu-pintu

dunia yang baru telah terbentuk dari
riak gelombang, dengan kota-kota
yang melahirkan anak-anak tanpa bapak
hewan-hewan akan sekandang denganku

jika laut yang kulayari ini mengandung
garam, kelak akan terasa manis di gelasku
jiwa akan berpegang pada tiang matahari
meskipun aku tak merisaukan lagi ke mana
bayanganku saat matahari memperjelas denyutnya

aku meninggalkanmu jauh ke ujung sunyi
membentuk peradaban dari kerak luka
tangan-tangan yang melambai dari halaman rumah
telah kujadikan dayung bagi hidup dan matiku
ketahuilah, tak ada lagi alasan bagi kesendirianku
yang memisahkan antara rasa dan raga.

Merak-Bakauheni, Maret 2004

Esti Ebhi Evolisa
(Mataram)

Tunggu

kuberbincang dengan malam
kapan datang kepastian
lolong anjing di kejauhan
membuat jiwaku terseret
apakah batas penantian sebuah jawaban
meski kutunggu dengan kian berjalannya sang waktu ?
aku hanya bisa berangan tunggu!

Tidak ada komentar: