Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 23

Purhendi
(Palembang)

Rumah Musi

Adalah aku yang kan menjaga
rumah dengan bilah bilah lapuk papan
dan racuk racuk gelam penyangga
begitu sepuh.
waktu telah mengulitinya
bersama bulan dan matahari
dan arus musi setia menggelayut
berkecipak setiap saat.

(angin masih saja gelisah
menanti senja yang resah)

Adalah aku yang kan menjaga
rumah yang begitu senyap di atas riak
begitu lelah
begitu pasrah
ditanggalkan keabadian sejarah.

sebilah lading
sebilah lading
masih saja memicingkan matanya !)

Palembang, 26 Juli 2005


Putu Arya Tirtawirya
(Mataram)

Duka Aceh Adalah Duka Kita

Hari pertama mengajar
seorang ibu guru berdiri depan kelas
saputangan menempel di kelopakmata :
dua pertiga jumlah bangku, kosong –
tentunya mereka tertindih bangunan rumah
dan hanyut saat banjir bandang airlaut
begitu gempa tektonik disusul gelombang tsunami
melanda wilayah Nanggroe Aceh Darusalam
Anak-anak melongo natap gurunya menangis
kemudian menoleh ke bangku-bangku kosong
mata mereka mengejap dikuyupi airmata
menyadari kematian teman-teman sekelas
sementara masing-masing belum mengetahui
betapa ibu guru kehilangan empat anaknya :
tewas tertimpa runtuhan rumah
tewas tenggelam terseret arus tsunami

**
Putu Sugih Arta
(Mataram)

Taman Sangkareang

Akasara Sang
angka tahun seribu delapan ratus sembilan puluh empat
dalam rekaman pujanggga eropa
bening sungai Jangkok
dibakar sepi
Aksara Bang
pada tahun yang sama
sisa laskar Diponegoro menerjang logam mata pancing
ikan terjerat arus ombak embun
dibilas sepi
Aksara Tang
air Gangga membasuh muka
bait gitanjali menghentak nurani
lereng-lereng Himalaya
dihembus sepi
Aksara Ang
seratus sebelas tahun kemudian, pada bulan kelima
tiga kota terkikis doa:
perempuan-perempuan terbujur air mata
ratapi matahari tenggelam pada muara Nya
tinggalkan siluet semu
tentang rindu aliran air
yang membasahi sawah-sawah dan ladang petani
Aksara Ing
amtenar kota dan buruh lading memaki nasib
berkolaborasi dengan syahwat
membunuhi pohon-pohon demi sesuap nasi impor
tiada mengaca pada waktu : dulu, kini dan nanti

Aksara Nang
bunga-bunga kelahiran
temui batu nisan
antara mata
Aksara Mang
o, tiada lagi pelangi pada gemericik air
tiada lagi rembulan pada beningnya
hanya batu dan pasir muntahan Rinjani
menyeruak jati diri yang hampa makna
menganga di palung sungai
Aksara Sing
kisah taman sangkareangku
hanya jerit ruas bambu
pernah tumbuh pada hamparan abrasi pantai
saat transformasi kekal membelai akar-akar Rinjani
Aksara Wang
Ancar, Jangkok dan Gangga menyatu pada samudera
kabari semua yang hidup :
“dasar bumi tak pernah sabar manuai berkah”
Aksara Yang
somasi hanya pada pagi
saat sayap merpati mewariskan gelombang kasih
pada perilaku mahluk Tuhan
ikhlas dibuai paradoks retorika basi
Aksara Aum
akhirnya, semua nikmati sengggama :
air
api
angin
Tuhan jebak aku dalam pusaran sungai Mu

Mataram, 10 Mei 2005

R. Hamsyah
(Banten)

Catatan Ayah

dan kau terlahir kembali
sebagai diriku
sebagai biji-biji batu
sebagai buah dari kenangan

aku mencari jejak lampau
dimana kau belajar pada hujan
mengakrapi wangian tanah
memanggil-manggil nenek moyang

adakah ibu tercipta
dari sepi ?
dan kau lahir mengisi ruang-ruang kosong
menjadi catatan pertamaku

Banten, Desember 2005

Tidak ada komentar: