Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 27

Saad Toyib
(Pulau Bangka)

Di Siang Itu

Di siang itu
Cuaca terang
Angin kencang
Debu-debu beterbangan

Sepanjang jalan
Terdapat hamparan sampah berserakan
Seperti kota tua yang terbuang
Ditinggalkan penghuninya menghilang

Seorang tua manatap lantang
Dengan mata yang jalang
Di hadapannya membentang
Jalan luas dan panjang

Pikirannya menerawang
Jauh melayang
Kapankah akan datang
Waktu yang luang
Membenahi kota yang telah terbuang

Masih terasa dalam pikirannya
Masa jaya kota tua
Yang menjadi tumpuannya
Untuk menapak hari esok
Yang lebih bahagia

Pangkalpinang, 1 Agustus 2005


Saff Muhtamar
(Makassar)

Merobohkan Rumah Tuhan

Manusia telah membangun rumahnya sendiri dengan dindin-
dinding teori ilmu, menopangnya dengan batu bata eksperimen
dan penelitian dan atapnya disanggah dengan balok-balok akal
yang merdeka dari selain dirinya sendiri.

Manusia telah membangun peradabannya dari keringat alam
yang telah diikat sebagai budak dalam istana pengetahuan
dan harus melayani seluruh hasrat mewah dari tubuh-tubuh
yang telah dimesinkan oleh teknologi secara total.

Manusia telah hidup mewah dalam istana akalnya yang berdiri
megah mengangkang di atas rintihan alam yang dipaksa menjadi
pelacur di ranjang-ranjang para raja yang selalu aman dalam
perlindungan para serdadu berseragam harimau liar padang tandus
dan deretan senjata yang bersiaga dengan otak elektronik.

Manusia dengan kekuasaan yang diramu biji-biji debu yang
berkeliaran telah merobohkan rumah tuhan karena suara-suara
mendendangkan keabadian dari menara dan lonceng-lonceng
suci hanya mengganggu tidurnya pada waktu pagi dan pada
waktu petang.

2003

Samsuddin
(Aceh)

Kuluahkan Perasaanku Padamu Tuhan

Saat ku ucapkan kata, terasa sulit tuk kuungkapkan pada-Mu
Biarlah kan ku ukir, ringkai hati yang rindu akan keagungan-Mu
Ingin kujadikan sebuah cerita dalam memori hidupku
Kucurahkan semua perasaan, jadikan harapan tuk bertemu dengan-Mu

Keagunganmu, mampu sejukkan jiwaku
Rahmatmu, hilangkan gelisah dalam kalbu
Tuhan teriring do’a, ku panjatkan jua pada-Mu
Satukanlah jiwa ini, yang rindu akan surga-Mu

Saat kutatap bumimu, dan ketika kudengar keagungan-Mu
Sering hati ini menangis untuk-Mu
Seakan diri ini terlukiskan rindu, dan selalu mengharapkan rahmat-Mu
Hasrat hati betapa ingin mengagungkan-Mu

Hingga terpancar dalam sanubariku
Betapa ku ingin memuji-Mu
Tuhan dengarkan do’aku untuk-Mu
Cukuplah cintamu, dan kesetiaanku pada-Mu

Andainya engkau terima sujudku
Dan takkan mungkin kau menolak hasratku pada-Mu
Biarlah semuanya, kucurahkan dalam do’aku
Tuhan bentengilah hamba ini dengan nikmat-Mu

Lihatlah keseharianku, terasa kaku dalam ketiadaan-Mu
Dan betapa aku ingin, hadirmu selalu ada disisiku
Namun biarlah semuanya kuserahkan pada-Mu
Dan jadikanlah hamba ini orang yang beriman pada-Mu

Banda Aceh, 10 Maret 2005

Sarabunis Mubarok
(Tasikmalaya)

Alif Minor

Galaksi bima sakti, beribu-ribu tahun yang berat,
bumi telah melahirkan bayi luka, bagi penyair
yang memelihara kata-kata.

Wassyuaraau yattabiuhumul ghaawuun! *)
Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat.

Adalah aku, rumah singgah bagi segala
kesesatan, jembatan beribu syetan yang berbaris
dalam pikiran. Adalah aku, ladang bagi segala
benih ketabuan, bagi segala bisikan yang berbuih,
menajamkan segala tuah, memburu satu-satunya
mata air, sumur yang mengalirkan puisi-puisi yang
lapar dan memar, yang tegang dan mengerang, yang
diburu dan dicemburu para pecundang.

Bagi seratus tahun sunyi, sebilah puisi menyaingi
doa-doa, meyiksa para pecinta, dan menggiringnya
menuju sejatinya kehidupan dan kematian.
Bagi sekejap ajal, segala kata memantul dan
menggandakan diri sendiri, meremukkan risau
dan segala yang memukau, menjelma benih-benih
puisi yang dikafani retorika dan ribuan basa-basi.
Lalu aku menjadi rasul bagi ayat-ayat yang tak
terkitabkan, bagi jalan-jalan yang tak tersinggahi dan
tak terpetakan, bagi zaman yang disandera dan
dikokang dalil-dalil kefakiran.

Singaparna, 2004.

*) QS. As-Syuara: 224

Tidak ada komentar: