Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 32

Syaifuddin Gani
(Kendari)

Semalam Di Uepai

di tikungan empat lima Uepai
daradara Konaweeha menyusuri petang
rambut panjang digerayangi angin
cahaya senja mengguyur kulitnya kemerahan

di bawah pohonpohon kerindangan
Putriputri Anaway berjejeran
berceritera dengan senyum keramahan
tentang Kapita Anamolepo lelaki kebanggaan

malam merambat
bulan merangkak
di sebuah lapangan hijau Uepai
bersebelahan sebuah surau yang lengang
digelar lingkaran sempurna seumpama kalosara
mengalirlah pesta Lulo dengan irama dan gerak kaki yang rampak

o bunyi gong yang rancak, tangantangan satu sentak, goyang pinggang padat,
nafasnafas rangsang, juga nafsu sungsang

di bibir jalan, para ibu dengan anak di gendongan
menatap penuh khayalan, ketika tiga belas tahun silam
dinaksir lelaki saat molulo segitiga jelang subuh
para ayah memandang dengan senyum ditelan sambil menyikut buah dada

di sungai merah kali Konawe
bagai Anaway Ngguluri mereka merendam badan yang perawan
menghanyutkan peluh semalaman
sambil bercerita lelaki pujaan
I Bio dengan rayuan pongasih tanyakan kalau sudah punya gandengan

pagi hari yang berkabut
tersebar berita bersahut-sahut
I Feni kabur bersama I Dedi
saat Lulo tiga belas tuntas di puncak malam

Uepai, Desember 2005

Konaweeha : Sebutan untuk orang Konawe
Anaway Ngguluri : Putri jelita dalam mitologi Konawe
Kalosatra : Adat tertinggi di Konawe dengan symbol lingkaran rotan
Lulo/Molulo : Tarian tradisi
Pongasih : Minuman khas Konawe

Syaiful A.MK.
(Yogyakarta)

Rumahku Rahimmu

Ibu
Maafkanlah aku tak bisa pulang ke rumah
Rumah pertama yang memberikanku bahagia
Rumah pertama yang mengenalkanku asalmula
Rumahku rahimmu

Ibu
Rumah itu tak cukup lagi bagi duniaku
Tapi bukan tak cukup bagi hidupku
Kini terlalu bodoh untuk kembali
Tapi bukan terlalu bodoh untuk kuhayati
Rahimmu cahaya nurani

Ibu
Apakah engkau marah ?
Rumahku kini berwarna biru, kuning, hijau,coklat dan merah
Aku tahu rumah yang dulu tak berwarna
Karena itu dunia pertama

Ibu
Aku tak ingin pulang ke rumah
Aku ingin bermain lincah
Hingga aku punya rumah sendiri
Seperti rumah pertama kali

Ibu
Izinkanlah aku tak pulang ke rumah
Rahimmu kutahu tak abadi
Memancar arti untuk aku kembali suci

Yogya, 2005

Syamsul SDP.
(Tangerang)

Catatan Tengah Malam

mawar, kota begini merah berduri
selalu saja, dia torehkan pada benakku
sisa-sisa hurup tadi siang
tentang beratus papan iklan
dan koran yang tak pernah kehabisan abjad
mengawasi nasib

kugambar peta dengan
kalimat itu, tapi tak juga terlacak
alamatmu. pintu yang terbobol arus
waktu tak bermusim
hanya kegelapan pantulkan
warna selain merah
kuduga; darah!

Sala, 24 Februari 2003

Tan Lioe Ie
(Bali)

Catatan Gila

Tanganmu pucat disergap dingin
musim gila yang angkuh
Seperti ketukan-ketukan hujan di genting
Kau meracau di dunia yang kau bangun sendiri

Setiap kita akan sendiri, katamu
Apa salahnya terbiasa sejak dini?
Bertarung atau berdamai dengan diri

Setiap kita akan sendiri
Lapar kita, lapar sendiri
Mengunyah kata dari batu hidup
Melahap kita di laju senyap waktu
Sakit kita, sakit sendiri
Menebar gigil di daging
yang lebur membumi
Bumi yang berabad-abad berpaling dari kaummu
Kaum yang mudah menertawakan diri
Mudah pula menertawakan luka diri
yang paling perih.

Waktu mengiris senja
Menyisakan segurat samar cahaya
Kesamaran yang mengaburkan pandang
mata yang dahaga
Mata pemburu cahaya
Sampai kerlip terkecil kunang-kunang semu di bujur pantai
Mata yang mencoba menembus
Batas laut dan daratan yang dihapus malam.

Beri aku bintang sejuta
Bulan beribu
Atau jadikan aku cahaya, pintamu
entah pada siapa

Maka tak lagi malam menebar cekam seringai hantu
Yang menyelinap ke benak, saat kau pejam
Yang memburumu sekilat pikiran
Melayang-layang tak teraih
Mengapung-apung tak tentru arah.

Semakin pucat saja tanganmu
Semakin angkuh saja musim gila ini
Dan masih juga kau meracau sendiri
Di dunia yang sendiri
Tempat setiap kita akan sendiri.

Tidak ada komentar: