Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 31

Suhairi
(Jember)

Dialog Satu Arah

Seusai upacara bendera di sekolah
Aku bertanya kepada seorang guru
“Pak, betulkah warna merah bendera pusaka kita berarti berani?”

Sang guru tertegun sejenak
Ia seperti menyimpan kepanikan
yang aku sendiri tidak mampu
menterjemahkan ke dalam bahasaku sendiri

“Pak, betulkah warna putih itu lambang kesucian?” tanyaku lagi.
Sang guru tak mampu mengeluarkan sepatah katapun
“Betul” atau “Salah”.

Sang guru sibuk membuka kamus

Aku melihat nada kecewa di wajahnya
ketika ia melihat wajah negeri ini
tidak sama dengan warna merah putih
yang tertera di kamus itu.


Sunlie Thomas Alexander
(Pangkal Pinang)
Tembangmu Ibu, Sepanjang Badan

tembangmu ibu, lirih kekal menembang
dari ayunan,
menjadi doa panjang buaian masa depan
lekuk tempo birama mengalun di badan
berhulu dari usia, bermuara pada usia
mengalir dalam darah, berdesir takkan moksa
maka kudayung perahu ke teluk teluk buana
menepi pada rimba rimba penuh nada
dan menyanyikan rembulan yang fantasia

o, betapa sepanjang badan dan bulan, harapan
serupa tangga irama
kupetik umur umur yang naïf
dari kaki hingga kepala,
tembangmu ibu lebih sekedar pelita
yang kubawa hingga jauh ke muara;
laut teduh yang belum sampai sampai kukayuh juga

tembangmu ibu, sepanjang badan
takkan fana usia ayunan
bagaikan bedak cendana, rekak biji merica,
dan hio leluhur di altar pertemuan

akan kucipta dari lirih lagumu, perempuan impian tempat berdian
dan kuda kuda perkasa, cambuk kenangan dan
kapal yang kokoh di tujuh samudera

tapi ibu, tembangmu takkan kutiup dengan terompet perang
karena lagu cinta cukuplah kujaga sebagai api asmara
sepanjang jalan, sepanjang badan.

Yogyakarta-Belinyu, Juli 2004

Sutardji Calzoum Bachri
(Jakarta)

Berdepan –depan Dengan Ka’bah

Aku datang memenuhi panggilanmu. Tapi ke mana engkau datang. Engkau tak ke mana-mana. Engkau datang ke dalam dirimu kosong, bagaikan Ka’bah. Engkau terpesona, mungkin agak terperangah. Dalam rumah dirimu tak ada yang menanti, tak ada yang mengucapkan salam. Sementara tadi di airport Jeddah ada bienvenu, ada welcome, ada selamat datang, dan entah apalagi dalam kata-kata Cina dan Jepang. Engkau di sini tamu sekaligus tuan rumah. Baiklah ucapkan seperti Umar mengucap : “Allahumma zid hazalbaita tasyrifan wata’ziman watakruman wamahabatan wazid mansyarrafahu wa karramahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyrifan wata’ziman watakriman wabirran.”
Jadi engkau mengucapkan harapan pada dirimu. Memang engkaulah tamu, engkaulah tuan rumah itu. Inilah rumah dirimu. Nah, mulai kini benahi lagi dirimu! O tamu dirimu, o jiwa batinmu. Roh yang lapar yang haus, ingin mereguk berpuluh-puluh shalat, mengunyah beratus doa! Jamulah dia. Ikuti maunya! Ingin berkitar-kitar tawaf, ingin bergegas bolak-balik Safa Marwah. O jiwa yang resah, kembalilah engkau kepada Tuhanmu.
Berdepan-depan dengan Ka’bah, sampailah aku pada perpanjangan sajak-sajakku. Setelah Tanya dan resah, setelah aorta diigau risau setelah kucing meraung dalam darah. Inilah jalan itu!
Kutanya urat, dimana darah? Darah ngalir dalam doa, dalam tawaf,dalam tegukan zamzam, dalam kecup Hazar aswad. Bismillahi Allahu Akbar. Fana fana fana. Tak ada Tardji. Tak ada kelompok yang berkitar itu. Tak Afghan, tak Irak, tak Pakistan, tak Iran. Kau panggil Ghulam, tak yang menjawab. Kau panggil Gotzadegh, yang jawab tak. Kau teriakkan Burhan, tak ada sahutan. Kau panggil nama-nama hanya doa yang bergetar.
Kau menatap ke langit. Awan tipis tekun bertasbih. namun jangan kau cari dia di sana. Tuhan tak ada di langit. Cari dia di hati mukmin! Kupandang dadaku, denyutnya menggetarkan hari, tempat dunia
Melengkapkan kepunahan. Sedang tawaf mengalir mengisahkan jiwa muslim bertemu jiwa. Dimana-mana doa bergumam. O, jiwa mengalirlah engkau mengitari Ka’bah, memulai lagi langkah! Dan dari getar dadaku masih terdengar doa purba sajak lama, papaliko arukabazuku kodega lagotokoco zukuzangga zegezegeze zegezegeze zegezegeze…
Baitullah, tempat mulainya langkah tanpa batas, perjalanan di luar daging dan kata-kata. Tempat doa bukanlah sekedar alat menyampaikan harap. Tempat doa adalah Dia! Dulu aku bawakan bunga pada-Mu tapi kau bilang masih. Aku bawakan resahku padamu tapi kau bilang hanya. Aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang Cuma. Aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski.Aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi. Aku bawakan mayatku padaMu tapi kau bilang hampir. Tanpa apa aku datang padaMu. WAH!
Kau membawa aku ke Safa ke Marwa ke Safa ke Marwa ke pasir ke gunung-gunung ke bintang-bintang. Doa tumbuh menyapu-nyapu membenahi diriku, untuk jalanmu Alina!
Untuk tarekatku Alina, aku buatkan sujudku di makam Ibrahim, aku sampaikan harap di Multazam, aku alirkan zamzam dalam urat yang sering demam, untuk meluruskan jalan, Alina!
Alhamdulillah, sakit, engkau telah mengakrabkan aku pada-Nya. Teriamkasih usia, engkau telah mengantarkan. Dulu bisu batu Sajakku. Kini, engkau di dekat Hajar Aswad ini
telah mendedahkan Rahasia. Cahaya, cahaya, cahaya!
Apa yang gumam? Doa. Ap ayang ngalir? Jiwa. Apa yang tenggelam? Silam. Apa yang Dia? Cahaya. Kupeluk Ka’bah,
di pipi Hajar Aswad
Kukecup secupang doa. Kukecup lagi kali berkali, lantas kucium
Ibrahim, sarah, Ismail, Hajar, dan ahmad. dan hari Alastu
Mengalir air mata.

Tidak ada komentar: