Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 16

Juftazani
(Jakarta)

Kenangan Atas Maria Nikolaievna

barisan kesedihan seperti
nyanyian balalaika
menyanyikan “kenangan abadi” atas musim berlari
“siapa yang akan dimakamkan ?”
“dr zhivago !”
“pantas”
“bukan dia ! tapi istrinya !”
“apa bedanya ?”
angin menderukan nyanyian itu
seperti gembala meniup balalaika
di padang siberia

di saat terakhir
pendeta menebarkan tanah
dalam bentuk salib
keranda ditutup, dipaku
dan diturunkan
gumpalan-gumpalan tanah
seperti hujan menimpa peti mati
kesedihan dan nyanyian abadi
tak juga surut
tatkala pidato terakhir
melepas jenazah maria nikolaievich
ke hadirat yang kuasa
kematian nyonya zhivago
diikuti kematian-kematian nurani,
revolusi dan pembunuhan-pembunuhan
tak bertepi
seperti mendung begitu cepat berubah hitam
hujan deras pemberontakan

atap kerajaan tsar yang kokoh
hancur-lebur diremukkan hujan salju
yang jatuh sekepal batu koral
darah dan airmata

nyanyian sunyi diiringi tiupan balalaika
di padang-padang siberia
di timurnya terbentang kepulauan “GULAG”
kampung putra-putri terbaik rusia
merintih meneteskan darah dan kelaparan
siksaan dan bencana !

Ciputat, 20 Desember 2005


Jumari HS
(Kudus)

Episode Anak Zaman

Seperti malam ditinggal sepi
Anak-anak itu, tak lagi bisa tidur
Mereka bermain kabut, di tangannya
Memegang pisau ditusuk-tusukan ke udara
Sampai gerimis dari langit ketentraman
Teriris, dan merintih-rintih kesakitan
Anak-anak itu, terus menusuk-nusukan pisau ke udara
Sampai hati ibu mengelabu

Anak-anak itu semakin liar
Menusuk-nusuk pisau ke udara
Tak perduli hujan debu menderas
Tak perduli mendung menggelantung
Tak perduli peta hidup berkaburan
Anak-anak itu, tak lagi mengenal sunyi
Airmatanya yang polos telah tumbuh benalu
Menghisap jiwanya sendiri
Aneh, mereka tak pernah mengaduh
Melainkan semakin deras tusukannya ke udara
Tak perduli angin resah
Tak perduli puisi berdarah

Anak-anak itu
Anak-anak kita
Airmatanya, airmata kita
Bahasanya, bahasa kita
Nyanyiannya, nyanyian kita
Anak-anak itu
Kita!

Kudus, 2005


Katrin Bandel
(Yogyakarta)

Malam Pertama Di Medan

aspal jalan-jalan kotaMu
kuhirup bersama kedip sapa lampu warna-warni
dan ramai klakson sudako
asing di telingaku.
di mana jantung kota? aku
rindu loncat terbang-melayang
ke awan-awan.
toh hanya berlari di tempat.
aspal menganga lapar
dan rangda dari seberang benua
mengirimkan sepotong lidah busuk.
bercak darah tertinggal di atas sprei
mabuk sendiri
berputar sampai terbenam
ke dasar.
tersengal-sengal aku mencoba
satukan napasku dengan napasMu.
teringat trisandhya bermain dengan awan-awan
tapi kutinggalkan jauh di punggung, di telapak kaki
menjadi tak lagi penting karena
bau rambutMu.

Medan, 19-2-2002
Jogja, 22-4-2002

Kiki Turki
(Cirebon)

Surat Untuk Kekasih I

Di malam sunyi ku terbangkan daun-daun doa

Sampaikan pesanku pada-Mu ?

Kekasih, aku alpa pada-Mu

Tapi tidakkah Kau ampuni aku

2004

Tidak ada komentar: