Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 26

Rosni Idham
(Aceh)

Bunga Setaman
(kepada anak-anakku korban tsunami)

Pagi ini
Ketika aku memandang orang-orang memetik bunga di taman
Lalu meletakkannya di air kolam yang mengalir jernih
Dan mengalir seiring senyum semekar sukma
Berdegup aku tiba-tiba
Bergoncang kencang dada gemuruh
Telah gugur bunga-bungaku yang tumbuh
Di bawah siraman alir peluh

Tuhan,
Sinar kesadaran menyentak jiwa
Engkau titipkan bunga-bunga itu
Sebagai amanah atas kepercayaan Mu
Kewajibanku memelihara dan memupuknya
Dengan siraman kasih segenap cinta
Hari demi hari bunga-bungaku tumbuh mekar
Harumnya menebar
Dalam pelukan manik embun yang segar

Bunga setaman, wahai ….
Mengalirlah bersama kebeningan air mata kami
Tersenyumlah bersama keagungan cinta illahi
Menziarahimu dengan rangkaian do’a
Butir hujan adalah kain kafan
Hanya yang Maha Tahu yang kenal pusaramu

Bunga-bungaku, wahai …
Disisinya engkau adalah kesuma
Damailah dalam pelukan Kasihnya
Ikhlas kami melepas
Selamat jalan bunga-bungaku
Di gapura Syurga kita bertemu

Meulaboh, 26 Januari 2005


Ryan Rachman
(Kebumen)

Drama Tiga Babak

Babak I
Kemarin lusa, Turiman membersihkan sangkar Si Bejo,
seekor perkutut kesayangan majikannya, dengan hati
gelisah. Sebab, dia mendapat kabar dari tetangganya jika
Sapto, anak bungsunya, dibawa ke rumah sakit karena
demam berdarah.

Babak II
Kemarin, Turiman tidak masuk kerja karena harus
memanggul keranda yang di dalamnya terbaring mayat
Sapto yang mati kemarin malam.

Babak III
Hari ini, Turiman tidak masuk kerja lagi karena dipecat
majikannya tadi pagi. Sebab, Si Bejo meninggal, karena lupa
dimandikan.

Purwokerto, 2005


S. Yoga
(Ngawi)

Kitab Kehidupan

tak ada rasa sesal
dan ketakutan yang nyata
semua aku jalani dari muasal
seperti binatang mencari mangsa
dogma dogma telah aku lupakan tanpa kesal
yang ada hanya perasaan menjebak seolah sabda
kematian hanya duri yang menancap kekal
rasa sayur menjadi hambar tanpa mantra
telah kubuka semua kitab yang bermanfaat tanpa kuhapal
namun semua tak bisa melupakan luka
dan kebencian pada hidup yang dangkal
kini telah musnah menjadi getaran tak teraba
pendulum malam telah memupus semua impian yang terpental
kenangan menjadi neraka menuju surga

ibarat lumpur kaulah air yang mengalir ke hilir
sejak subuh telah kuserahkan sajadah panjang
aku ingin bertempur dalam cahaya langit
yang menusuk-nusuk ini
ingin kukuak rahasia yang terkandung
hingga penasaran ini mati
rasanya hidup hanya buang buang waktu
tanpa rasa yang menjelma dan rindu
menuju tempat perjanjian di altar semesta
ikan ikan telah terbakar dalam gairah malam
bersama para nelayan di ujung pantai
jalur perahu dan jalan angsa
rasa nikmat telah lenyap sejak cecap pertama
tertuang pias di atas kuah kehidupan

yang kucari hanya rasa nikmat
yang tak terganti

rasakan manis garam kehidupan
seperti melumat bayang bayang
wajah kekasih yang pergi
saat saat ada

memang seolah boneka
yang abadi
patung purba yang dipuja
saat saat tiada
memang seolah bantal guling
yang fana
patung kenangan yang mendera dan mentakik
seolah suara malam yang menusuk
dan kau khusuk
di langgar mengeja alif
aku duduk di bawah meja
mencuri pandang dengan doa
rasa kepergian hanya sesat sesaat
yang membekas hingga sekarat
kini kueja diri sendiri
di rumah tua
karena dosa

paginya kubuka kitab kehidupan
kutelusuri lading lading luas tak bernama
semak belukar dan Lumpur Lumpur kematian
petir perang, puing, kuburan dan bencana air mata
tak kutemukan perasaan yang satu
sejengkal tanah ini apa gunanya aku injak
bila pedih terus mengeram dan mendera

seperti sepur tua memasuki stasiun
ah rasanya aku hanya penumpang yang tertinggal
di stasiun terakhir tanpa karcis
bila waktunya tiba jemputlah aku
di malam yang terakhir

gelap bila kulihat siang
dan terang bila kuberada dalam gelap
dapat kulihat wajah bulan di atas
meski tanggal muda
semua tak terbayangkan
wajah wajah sayu menemuiku di setiap jalan
hanya bayang bayang yang berwajah ganda
baju baju baru tak pernah kupakai
hanya kenangan yang ingin kukenakan
asin rasa garam tapi terasa manis di mulut

ketika kau hidangkan sepiring nasi kehidupan
yang terbayang hanya sekelumit demit
senyum terkulum seolah doa yang gaib
kini bayang bayang gelap selalu menghantui
kemana langkah hijauku tertuju
seiring kepergianmu yang tak berbekas
cinta memang manis bila di dekatnya
tapi sepahit empedu bila mengenangnya

kepergian yang sempurna dan punah
bila kau tak pernah berpamitan dan istirah
dan kepergian yang terburuk dan sesat
bila kau mencuri kenanganku yang lekat
dan tak terlupakan
jangan sebut ini dusta
bila kau memandangku seperti tugu mati
perasaan tak bisa ditipu dan ditiru
dan kenangan hanya kejahatan kecil
yang tersembunyi dalam kehidupan ruhani
kematian hanya jembatan yang terbentang
di antara batas impian yang belum tergapai
yang kelak akan bertemu di muara api
kabut pagi seperti akan menjemput
seseorang atau mungkin panji panji
segelas kopi di beranda
sambil memandangmu
yang jauh tak bersauh
terpana tanpa busana

sebusuk inikah rencanamu
menemuiku di saat aku melupakanmu
jalan jalan masih berjelaga dan berkabut
sedang malam kelam segera menjemput
tak ada ramah roti
segelas kopi telah tandas
kesepian menjadi akut yang maut
disaksikan cicak yang memandang
tanpa pejam yang rejam

seolah kenangan dangkal terpasang
di dinding rumah berbingkai kayu randu
kepalsuan yang ringkih
surat surat tak terbalas dalam setahun
di sore hari anjingku yang patuh
telah berlarian di antara ilalang panjang
mengejarku di tubir jurang
menyaksikan kenangan yang terperosok
ke dasar lembah merah
kuhadapkan wajah di beranda rumah

sesosok wajah jahat penuh rajah
telah memahat hatiku yang membatu
rambutnya tergerai
seperti peri
atau ilahi

setelah peristiwa itu
ingin kupastikan perasaan hatiku yang luput
apakah aku masih milikmu
kepercayaan kepercayaanku yang purba
telah longsor menghadapi kenyataan cacat
debu debu kehidupan berjaket biru
telah menyelimuti tubuhku
ingin kupastikan lagi
apakah aku masih milikmu
seperti apakah perasaanmu terbuat
sehingga kau selalu menerima diriku
dan maaf yang berulang ulang
hanya satu kesalahanku
mencarimu dalam rawa-rimba-gelap
dengan mambang dan banaspati
roh halus yang tulus

besok jemputlah aku
di dermaga pertama
bila semua ini telah berakhir
rumah telah kudirikan sebelum karam
doa doa telah kusempurnakan sebelum dusta
ladang ladang telah kugarap sebelum musnah
sebagaimana sirkus kehidupan
jalan jalan telah kumaknai sebelum terluka
atas peristiwa yang medera
semua kerabat telah kudatangi sebelum kebencian
tapi perasaan ini tak terselesaikan
bayang bayang kekhawatiran
menjadi kasat mata

hanya bayang bayang yang dapat kukejar
dan kueja dalam penyamaran
samar samar wajahmu yang kekal dan berjamak rupa
selalu menghantui jalan pikiran
kemanapun aku berada dalam duka rindu dan bahagia racun
bila cintamu murni 24 karat
tunjukan padaku wajah yang asli
tanpa topeng dan samadi
aku manusia perasa
mau menerima apa adanya
bila telah kujatuhkan pilihan
keyakinanku akan tenggelam dan mati
bersama jasad yang tak berguna ini
bila waktunya tiba
dengan apa aku harus menjemputmu
sedang peta sudah lupa akan batas
bila kau datang tiba tiba
seret aku dalam ketelanjangan imanku
yang buta ini
pulang
ke rumah
mu

Sumenep, 2005

Tidak ada komentar: