Rabu, 20 Oktober 2010

Kata Pengantar :



( Oleh :Jarkasi )

Di suatu Minggu siang yang cukup menyengat tepatnya tanggal 13 Agustus 2006, ketika tubuh ini dihela-helakan di pembaringan, saya kedatangan seorang penyair Arsyad Indradi dari kotaBanjarbaru. Perjalanan dari Banjarbaru ke batas kota Banjarmasin, tempat tinggalku, tidak memakan waktu lama. Ya, kalau ditempuh, sekitar 45 menit atau satu jam perjalanan. Tapi si tengah terik matahari musim kemarau – balalah ( berjalan ) — Arsyad Indradi bukan persoalan gampang. Apalagi dalam usia sesudah 50 tahun, ini orang – orang yang hanya memiliki hampadal ganal ( semangat yang tinggi ) yang mau melakukan kayuhan sepeda motor seperti ini.
Pak Arsyad langsung mengemukakan maksud kedatangannya di samping menyisipkan dua buku kumpulan puisinya sendiri. Dalam hati saya menyeru, luar biasa orang tua yang satu ini. Karya – karya puisinya terus menapaki perjalanan hidupnya. Sebuah buku tebal lebih dari 700 halaman dikeluarkan dari dalam tasnya. Pada buku itu tertera namaku sebagai salah seorang yang memberi pengantar. Aku sedikit tersanjung oleh sikap Pak Arsyad, sebab tentu masih banyak – banyak teman – teman penyair lain yang sangat handal memberikan pengantar.Apalagi buku setebal 700 halaman lebih adalah antologi puisi penyair nusantara. Lebih ciut lagi hati ini ketika harus memberikan pengantar sebuah antologi penyair nusantara. Rasanya memang tak ada ilmu untuk itu, tak ada pengalaman yang bersarang, dan tak ada gumpalan perjalan kepenyairanku – yang sedebu ini – dapat mengibarkan bendera sendiri, apalagi bendera – bendera yang saya anggap lebih dulu mampu sudah berkibar besar. Tapi aku teringat niat besar Pak Arsyad Indradi ingin menghimpun ide besar ini. Paling tidak aku sedikit dapat mengurangi kebuntuannya. Kalau aku membayangkan, gagasan ini tidak sekedar gagasan, tapi hanya kekuatan besarlah yang mau dan mampu mengerjakan ini. Sungguh saya tidak berpura di hadapan Pak Arsyad memuji apa yang dia lakukan, tapi ini sungguh luar biasa. Banyak orang hebat dan didukung biaya yang banyak bisa menghimpun karya – karya seperti ini. Tapi bagi Pak Arsyad Indradi — yang saya tahu – tidak bermodalkan materi selain semangat yang besar akhirnya mampu merealisasikan buku ini. Sempat pula terngiang sindiran bahwa gagasan Pak Arsyad kagubihan maksudnya idenya besar dan muluk tidak sebanding dengan kemampuannya. Tentu ungkapan pematah ini sering dipakai oleh orang – orang Banjar dulu, hingga sekarang masih banyak yang mewarisinya, hingga kita tak punya karya – karya monumental. Sungguh kalau tidak karena tekad yang luar biasa sudah jelas buku ini tidak terhimpun, sesungguhnya kalau tidak kekuatan ingin memecahkan batu cadas kekerasan buku ini tidak akan pernah terwujud. Sehingga saya pun tidak bisa menyembunyikan rasa salut saya untuk Pak Arsyad Indradi karena hanya dengan tekad yang besar dibungkus dengan kesahajaan semuanya bisa terwujud. Seorang penyair yakin, bahwa sajak pada hakikatnya reaksentuasi kreativitas. Reaksentuasi pada dasarnya adalah konsentrasi dan intensitas pernyataan kesan dalan bahasa yang lain. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa lewat sebuah sajak sebenarnya terlihat juga sosok pribadi penyair lengkap dengan latar kultural dan pengalamannya. Melalui bentuk sajak sebenarnya penyair telah membangun dunia dialogis yang sebenarnya mempunyai kesan tersendiri jika dipahami secara lebih intens.
***
Kita menjumpai 142 penyair dan 426 puisi yang beragam. Dapat dibayangkan demikian hiruk – pikuknya tema – tema yang dijumpai, sehingga amatlah tidak mungkin tulisan ini mampu merebut dan mengungkapkan setiap intelektual yang ada. Namun, saya amat yakin apa pun yang tertera di sini mengandung “obsesi” sekaligus pengakuan bahwa puisi berisi komitmen hidup dan pada hidup itu terdapat sesuatu yang diperjuangkan. Meski semua itu mestilah dicerna tapi bukan tidak mungkin pembaca sedikit berkenalan dengan serba sedikit dari ungkapan yang cemerlang.
Semua orang bisa kena kritik, terutama karena dilihatnya seseorang tidak logis. Istimewanya yang tidak logis tersebut adalah persoalan besar yang selalu muncul di mana saja. Tapi jangan salah dulu, sebab kritik adalah sesuatu yang kita perlukan. Apa pun medannya., sesungguhnya dalam komunikasi setiap kritik selalu berisi pendidikan.
Beda lagi dengan penyair, ia memiliki kepekaan mendalam (concern) terhadap sang Maha Pencipta. Manusia selalu diuji oleh berbagai masalah, serangan emosi dan lebih lagi nafsu. Untuk menangkis cobaan ini semua tersimpul dalam bait – bait berikut. Penyair memaknai betapa pentingnya cahaya hidup. Cahaya itu menyentuh ketika si Aku terdampar disebuah pantai.
Perjalanan meraih Rahmat dan Rezki dari yang kuasa sungguh membayangkan keikhlasan. Namun, Dia lebih menyayangi. Peristiwa itu amat dalam ia rekam dalam petikan sajak Zuhrotul Aziza Ahmadia. Dalam usia lima bulan Aziza yang amat tersayang kembali ke Pangkuan Sang Maha Penyayang (Selamat Jalan Anakku; 43).
Bagi kebanyakan penyair, sajak tersebut mungkin dianggap biasa, kurang mengental, tapi itulah saya bisa merasakan ekspresi Zuhrotul tidak sekedar ekspresi tetapi ekspresi yang memiliki histotisitas meaning.
Seorang penyair adalah seorang yang berbicara dengan orang lain tentang rasa estetik tertentu. Secara formal disusun dalam wujud kata, idiom, baris, dan bait serta disanding dengan peralatan puitik lainnya. Kadang kala ada penyair mengaku bahwa penyair itu adalah sebuah tuntutan batin. Kita ambil sebait puisi Ali syamsuddin Arsi “ Kupilih Mata Pena “ ( hal. 59) / Kupilih mata pena / dari emas murni lubuk hati ini / nuraniku berkaca- kaca/ merajah cakrawala//... Penyair hadir dengan segala bentuk kemurnian isi hati lepas dari segala kepentingan. Ungkapan verbal penyair membuktikan pernyataannya sebanding dengan emas murni yang tak ada kadar unsur mencampurinya. Sebuah tanggung jawab sosial yang vbiasanya selalu berpihak pada orang-orang awam. Beda lagi dengan ungkapan penyair lain lebih mengumbar imaji- imaji nostalgik. Sajak adalah gairah hidup dari perjalanan nostalgik itu. Sajak/.... juga menunjukkan hal itu. Terasa ada endapan pengalaman. Pengalaman itu memiliki dimensi estetik yang tunggal. Dan seterusnya ... dan seterusnya.......

Banjarmasin, September 2006
( Jarkasi, dosen FKIP Unlam Banjarmasin, Pemerhati
Seni Budaya )

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 1

A.Rahem Umar
(Sumenep - Madura)

Coution

Seketika pantatmu dan pantatku terhenyak
Di pelupuk senja hari itu
Telah kubaca surat dari hatimu kemarin
Jalanan kitapun makin remang

Seperti firman kata-katamu laksana mantra berjatuhan
Pada lantai bumi yang menggigil
Namun kita tetap memuntahkan kata-kata
Seakan-akan mengeja semua jarak antara langit dan bumi

Menjelma filosof aku memaknai diri
Dan tarian mata – hatimu
Bahkan keropos tubuhmu yang senantiasa
Bertilawah menyebut namaku di rimba-rimba

Eva, di lorong itu kadang aku terjebak oleh mimpi sepi
Lantas dipecahkan oleh piring – piring klakson
Sampai akhirnya aku pasrah pada dentingan jam dinding
Yang mencekikku dengan rafia kefanaan

Dik, inilah rumahku yang tak berpintu
Inilah hutan batinku yang kecoklatan

Sumenep, 270909


Abdul Kadir Ibrahim
(Tanjung Pinang)

Kekuasaan Neraka

zaman tercurah airmata dan darah keinginan tamak keras legam
menyihir rindu pasung kelat racun nyawa semurah antah
kemaruk hidup menyangkul luka zuriat dunia
meniti bala peradaban cabikkoyak
gemerentam meriam bom
panas nuklir ludah
kekuasaan
amerika
josh
w
bush
sekutu barat jahanam
ambur demokrasi hak azasi
sesungguhnya jala-jaring iblis dajjal
iraq iran libya palestina pakistan indonesia
negara islam sedunia bilapun nerakalah! amerika punya surga
....

Tanjung Pinang, 2003

Aen Trisnawati
(Bandung)

Mimpi Basah

mengendapkan kerinduan
pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin
yang menyeka malam menjadi malam.
suara batuk tertancap di gemuruh
menjadi sunyi

menyimpan kerinduan
pada sebotol air putih
kemudian kuteguk
menjadi bayangbayang
menjelma lingkar matamu
hingga masuk ke kantung kemihku

malam kian sunyi
kutitipkan puisi rindu
di atas bantal biru
lalu mengecup bayangmu dan bergumam pelan
“selamat malam”
dan lelap resah hingga basah

BumiKembara, Desember 2005



Agus Bakar
(Solo)

Nyanyian Orang Diam
: Cikalistri

Bukan berarti kita membisu dalam keheningan tatkala kembali bertapa di
gua-gua dan mengunci rapat mulut kita sebagaimana berpuasa.

Bukankah kita masih berusaha mengingat wejangan kata-kata bunda, lirih
nurani, juga tentang sisa-sisa percakapan kita yang terjeda; sejak garis
tangan ini menginginkan kita terlahirkan bersama-sama?

Suara-suara dunia memanglah nyanyian gaduh: getaran yang semakin
nyaring menyayat setiap gema hati, tatkala kita terdiam dalam jeram,
tatkala kita dipaksa harus memilih ketidakpastian jalan.
Tidak lagi bisa kita pungkiri dan perdebatkan suratan atau lirih bisikan yang
meski kita diam-diam berusaha menghindarinya perlahan-lahan.

Dan memang tampaklah tiba saatnya bagi kita untuk kembali ke sunyi
pertapaan. Kita telan hening dalam semua malam, tanpa menaruh kesumat
dendam, bagai sunyinya kepompong yang bersiap memekarkan keindahan
di terang wajah bulan.

Solo, bulansuci, 2005


Agus Manaji
(Yogyakarta)

Kasidah Akar

Merambati gelap dan basah hujan
Telah kutinggalkan benderang dan tawa itu
Di udara

Aku menari di sajadah paling sunyi
Meningkahi bongkah batu, tanah
Dan larik-larik fondasi. Kedalaman
Gelap dan rindu mengajariku ketabahan
Juga keikhlasan, hingga mesra
Kupeluk siang dan malam

Aku telah jatuh cinta
Mengembara dan mengisap lezat sisa-sisa
Yang diabaikan keriangan manusia. Kucium
Wajah bumi yang kelam dan bau. Namun
Kucintai pula langit yang gemawan
Sebab kuterima kasihnya lewat rinai hujan

Dan selalu kutitipkan pada bunga untuknya
Sesimpul senyuman.

2004

Sajak ini pernah dimuat Majalah HORISON edisi Agustus 2005

Edisi 2

Agus R Sarjono
(Jakarta)

Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan

Kita seperti puisi ya? Bisik embun di sela daun pada kabut
yang perlahan turun bersama senja. Matahari tinggal jejak
kemerahan di cakrawala. Beberapa kelelawar melintas
di antara pohonan dan rembang senja.

Bukankah kita seperti puisi! tanya embun di sela daun
pada angin yang menari bersama angin di sela bunga
Beberapa kunang-kunang berkerlipan
menggaris malam.

Apa kita seperti puisi? Atau setidaknya kenangan
ucap embun yang hampir menetes di sela daun kepada cahaya
bulan yang baru tiba di hamparan rumputan. Beberapa ikan
berkecipak malas, dalam kolam.
Rasanya kita seperti pembangunan, kata setumpuk bata
dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu.
Tentu saja kita pembangunan! Bukankah kita merdeka
dan mandiri seperti sebuah kota. Coba bikin api unggun
dari ranting dan daun-daun, biar kabut dan dingin berangkat
Biar malam sedikit lebih hanghat!

Kabut, dingin dan cahaya bulan saling berpandangan
Termangu,. Malam berjalan, selapis demi selapis. Kelelawar
kunang dan ikan-ikan melintas lamban. Apakah kita …
tapi embun itu tak berani lagi bertanya. Ia pun menetes
seperti airmata.

1996


Ahmad Muchlish Amrin
(Yogyakarta)

Dewi Masnunah (1)

Dewi, aku datang
untuk menduduki kursi kosong
di hatimu, dengan pelitur mengkilau
di malam pertama
matahari dan bulan bergantian
menyaksikan percintaan
yang nyaris sempurna
Dari langit ke tujuh
katakata turun sebagai firman suci
tidak berbunyi di dada dunia
hanya dalam cinta
Dewi, kubawakan bunga dari surga
semerbaknya membuat malaikatmalaikat
iri hingga ia membacakan syahadat cinta
dan menyuguhkan getar rindu jiwa
Di ujung bunga itu, matahari dan bulan
lain menunduk juga sebelas bintang
berkedip bila kelambu samasama
terbuka, Masnunah!
Kau dan aku melupakan warna
Meninggalkan yang tidak atas nama cinta

Malang, 2005


Ahmad Syamani
(Bandung)

Syair Perempuan

Kota bergerak mencari kata-kata
Lewat panggung pentas dalam bahasa mata
Memikat
Orang-orang di sini masih menjadi jam
Tidur
Penuh sandiwara murahan

Lihat, salam hangat perempuan
Lentik matanya
Ketika sedikit kata-kata menari
Sampai jejak pintu pentaspun memanggil
Namanya, dengan tekun

Dengarlah, robekan tepukan mengucurkan
Teriakan, ada senyuman diperdengarkan
Untukku dan lampu-lampu kehilangan warna
Kehangatannya, kerinduannya
Sampai kudengar kau mengigau di luar teras
Puisi

Kota-kota kabupaten melewati beribu tapak
Pohonan merah
Kau yang mengatur ruangan kata
Dalam gerak seni
Tanpa kehilangan kodrat.

Subang, 25 September 2005


Ahmad S. Rumi
(Banten)

Negeri Bandung

Di negeri Bandung
Puisi cukup mahal
Jalannya beraspal
Jalurnya ditunggu preman
Redakturnya amat terkenal

Di negeri Bandung
Aku punya kawan
Namanya lukman dan dadan
Kata sitok, lukman penyair berbakat

Tapi lukman berkasus dengan Indonesia
Dan dadan tidak

Di negeri Bandung

Dan dadan seorang demonstran
Ada kampus terkenal
Dekat galeri popo iskandar
Mahasiswanya tenartenar
Terutama dalam kepenyairan
Padahal dosennya tidak terkenal

Di negeri Bandung
Cerita ini khayalan

Pandeglang, Banten 2005

Edisi 3

Ahmadun Yosi Herfanda
(Jakarta)

Resonansi Buah Apel

buah apel yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di atas meja. Dagingnya yang
putih-kecoklatan berkata,
‘’lihatlah, ada puluhan ekor ulat
yang tidur dalam diriku.’’

memandang buah apel itu aku seperti
memandang negeriku. Daging putihnya
adalah kemakmuran tanah airku
yang lezat dan melimpah
sedang ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas dan korup

seekor ulat yang tahu tamsilku pun berteriak,
‘’kau pasti tahu siapa yang paling gemuk
di antara mereka, dialah presidennya!’’

buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya

Jakarta, 2000

Akhmad Muhaimin S.
(Sleman - Yogyakarta)

Tak Kubaca Isyarat Itu

kepergianmu betapa tiba-tiba, anakku
sungguh, tak kubaca isyarat itu
wajahmu masih saja berseri nan ayu
meski terbaring, dalam sakit seminggu

naik turun dari ruang picu dan tunggu
ayah dan ibu hanya bisa berdoa untukmu
eyang kakung dan putri mencintaimu
seluruh keluarga mengharap sembuhmu

tapi, pergimu betapa tiba-tiba, anakku
sungguh, tak kubaca isyarat itu
dua atau tiga malam menjelang ajalmu
wangi itu selalu saja di sekitar tubuhmu

sungguh, tak kubaca isyarat itu
wajahmu bahkan semakin berseri nan ayu

Yogyakarta, 2005

Alex R. Nainggolan
(Jakarta Barat)

Mencari Ibu

berapa banyak ibu tumbuh jadi bayangan dalam hariku ?
maka aku pun mencarinya, di atas tanah, sepanjang jalan,
di bawah hujan., tapi selalu kutemukan bentuk ibu-ibu yang lain
menggendong matahari, menancapkan kesakitan di tubuhnya sendiri, atau menyusui bayi yang paling purba
aku kehilangan tanda mencarinya, cuaca kembali datang dengan bencana
yang tak mudah diterka

ibu, ibu, di mana kamu ? seperti masuk ke dalam sesat jalan langkahku
tak ada jawaban, cuma hening yang tak bergeming, menyimpan seluruh masa lalu yang bening

aku mencari ibu di dalam tubuh rempuan
tapi yang kutemukan hanya rahim-rahim yang kosong
kehilangan benih, di sudut-sudut kota berkerumun dengan darah aborsi

aku mencari ibu di tubuh istri-istri
tapi cuma kutukan nyali birahi yang ada
mendekap malam-malam yang penuh keranda

aku mencari ibu lagi, di antara getar suara ponsel
surat-surat yang kutumpuk di lemari pakaian, atau sisa uang untuk belanja
hari ini. tak ada ibu di sana, di pohon-pohon apel
yang ada cuma ulat-ulat, merakit sekarat
tempat adam belajar kata cinta pada hawa
dan menggapai dunia

ibu, di mana kamu ? seperti kundang, tak henti-henti kupanggul kutuk ini
tak kutemukan ibu. hanya patung-patungnya dibangun di penjuru kota

Jakarta, 2004


Ali Syamsuddin Arsi
(Banjarbaru)

Bermain Bersama Anak-anak

Memasuki ruang kasih kalian aku menjadi asing dalam kebersamaan
namun izinkanlah, walau sepintas mungkin tak pantas
aku sudah berupaya agar cinta kita tetap terjaga
seperti kisah-kisah binatang yang sering mengantarkan tidur kalian
setiap malam, atau malam-malam yang lain
ada banyak tayangan, kenangan bahkan panutan
dari bayang-bayang kehadiran, karena dongeng itu
selalu saja menjadi pilihan utama, selain harus lebih banyak membaca buku-buku cerita sebagai hadiah kenaikan kelas kalian

Memasuki ruang mimpi kalian aku menjadi sesat dalam kesendirian
sementara jalan yang kau lalui tak semuanya aku pahami
tapi tali kendali layang-layang kalian dengan teguh harus kupertahankan
karena angin di luar berhembus sangatlah kencang
belantaramu, ternyata lain dengan rerimbun di zaman berbedasi
izinkan aku ikut bermain di tengah-tengah kalian

Tuhan, jarak seperti apa lagi yang akan engkau paparkan
dari lika-likunya kasih dan sayang, sementara cinta
haruslah tetap dipertahankan
walau sampai ke batas kematian
karena keabadian itu merupakan sumber bayangmu
dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang

Tuhan, atas izinmu aku lebih memilih bersama mereka
walau tidaklah harus di tengah mereka
karena di balik dunia, ternyata dunia lain juga ada

Banjarbaru, November 2005

Edisi 4

Ali Wardana
(Banyumas - Jateng)

Sajak Ronggeng
: teruntuk Srintil

Menimbang lenggok senyum selendangmu
kembangkan lanskap dukuh lumuh
di tingakah dayu kembang
disela suit serta tepuk tangan
di bugai ketipuk kendang

mata tergelincir liur mengalir
piker menggulir liar
naikkan gelegak darah

diantara aroma tawaran
meliuk angin nafsu
merembeskan keringat nyala

semua terangkum dalam dekapan
coba di buka
diurai
diderai.

Purwokerto, 23 April 2005


Aminuddin Rifai SS
(Samarinda)

Makrifat Sungai

aku berkapal, sepagi tadi
sesiang ini
menyusuri sungai
dan kupastikan
bahwa aku tidak pernah
melupakanmu

dari dek ini
kutangkap aurat tepian
yang menjaga genit perawan
mandi berkain basah
berhati basah

amboi
aku kembali memastikan
bahwa syahwatku telah basah
oleh sebab mengintipmu
di sungai


Anam Khoirul Anam
(Ngawi)

Tuhan Memintal Firman-nya

Tuhan memintal firman-Nya dari gempita cahaya
lalu dijadikannya sepotong kemeja
dan, menurunkannya kepelataran sunyi
yang Ia namani dengan jagad
:menitiskan ruh-ruh di dalam-Nya
“maka jadilah kau hamba Semesta”
Sekian abad lama dalam hayat, berotasi,
mizantium pun berkata dalam ukur-Nya
menariknya ke cakrawala
dengan membawa manuskrip
yang telah dicuci dengan mata air—airmata
hingga akhirnya pun terdiam: kelam


Arbynsjach Damayanto
(Dibaca Arbensjah Damayanto)
(Malang)

Sepotong Roti Pengganjal Mimpi

Kehangatan hari dan cericit burung, tak ada lagi di sini
terberangus sudah
belantara jelmakan hujan air mata
mendera mimpi kanak-kanakmu;

“Tak ada lagi mimpi itu nak, tak ada lagi, ia sudah pergi,
pergi bersama angkara yang tumbuh
di antara sulur-sulur mereka”

Embun masih menggayut
dibening kejora matamu
redup menghapuskan harapan
terserabut sudah

ini kali masih ada sepotong roti
sisa kemarin pagi
punguti, lumati sebagai pengganjal mimpi
lalu terbanglah tinggi
sampai ke langit
jumuti bintang-bintang itu
lalu sematkanlah di dalam hati;

Malang, 2004

Edisi 5

Ari Stya Ardhi
(Jambi)

Membunuh Bunda
(: anakku gelegar c talenta)

turunlah dari peraduan mawar itu
anakku, melepas kelopak mimpi
dari kegelisahan reranting berduri
lalu, aku ajak kau meradangi
rumah-rumah singgah, melupakan bunda yang
telah terbantai di meja pesta
hiduplah aroma darah yang berkeliaran sepanjang estalase
emperan, reguk debu bernanah di terminal-terminal.
kemudian, tikamkan kemaluanmu mendidih
gedung-gedung.biar beton dan kondo
beranak pinak atas nama kejantanan

di lorong-lorong pertempuran,
bunda sudah binasa, sementara, nama-nama jalan
selalu memanggili kesunyian.
tancapkan alamat nisan ke atap dapur kematian.
asap sengketa harus mengepul,
peperangan tak pernah mengenal
dinding belas kasihan, pancangkan cakrawala
benakmu meninggi kebimbangan kota-kota

kelak, orang-orang berebut
membangun pasar ke relung dada.
karena rumah tidak lagi mampu
menampung sepetak sawah.
maka, aku ajak kau meninggalkan
ranjangku, menanggalkan busana usia.
hingga, anakmu kembali membunuh bunda

Bohemian Jambi, 2004


Arsyad Indradi
(Banjarbaru)

Darah

Adalah langit darah berdarah
Tak habishabis jadi laut berabadabad telah
tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu
tak singgahsinggah pada dermaga darahku
Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu
kutubku tenggelam dalam kutubmu
menghempas napas darahku membatubara
di kunci rahasia Alifmu Alif Alif
darah Adamku yang terdampar di bumi
yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku
yang rapuh tersesat di belantaramu meraung
darah laparku mencakarcakar mencari darahku
beri aku barang setetes Hu Allah
getar alir napas menyeru darahmu
mengalir darah mataku mengalir darah musafir
di sajadahmu
mengalir menuju rumahmu
darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Hu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah
manakala darah tak keringkering
mendustakan firmanmu dan tak hentihenti
berpaling pada jalanmu
malam tak lagi malam siang tak lagi siang
bulan bintang matahari kehilangan terang
apatah lagi yang mampu meneteskan
darah kehidupan Hu Allah
semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubillah
darahku astagfirullah
darahku subhanallah
Allah

Banjarbaru, 2004

Asep Pram (Asep Sopari)
(Bandung)

Episentrum

tiba-tiba kita menjelma pejalan
seperti kereta ringkih yang
meringis di jembatan besi
merasakan beban muatan yang
dikemas di pundak bagasi.

semalaman jari-jari kaki terjaga
menyusuri semak gelap taman-taman kota,
mengadukan letih pada patung
yang membatu di pinggir trotoar.

langkah kita terus melaju
melewati deretan pohon dan tiang listrik,
lalu mengemis ketegaran pada tiang reklame
yang menawarkan bijih embun.

kita tak hendak menuju ke suatu tempat
tapi sekadar menuruti naluri yang
begitu saja hadir tanpa diundang.
kita pun tak hendak mencari apa-apa
selain membiarkan jiwa bergerak bebas
di jalan-jalan lengang yang ditinggalkan tuannya.

di antara bayang tiang lampu taman
kita menemukan wajah buram diri sendiri
tepekur menghitung jarak yang telah dilalui.
perjalanan ini tak pernah menjanjikan sesuatu
selain bayang-bayang tubuh sendiri
di saat tubuh kerabat yang lain tergolek
di papan catur menunggu siang.
itu saja cukup, kita tinggal mengurainya
menjadi tafsir-tafsir lain.

Oktober 2005


AslanAbidin
(Makasar)

Walennae

ketika senja turun dan cahaya menyerbuk di
antara pohon-pohon lontar, aku kenang sungai ini
sebagai lengkungan taman para bissu, gaib dan sunyi.

di tepinya gadis-gadis mandi dan pulang menjunjung
tempayam bersama gairah dan aroma kewanitaannya yang
mengembang dari kembennya yang basah

“di sungai walennae kasihku, adakah kau tahu,
mengalir cintaku padamu, tenang dan dalam.”

ketika ujung-ujung ilalang meliuk
melambai pada senja, dan bangau di pucuk-
pucuk bambu bersiap masuk sarang, di setapak
menyusur walennae, lelaki-lelaki memikul tong
bambu pulang dari menyadap nira.

“rumah kami di kaki bukit, beratap ijuk dan dapurnya
selalu menguapkan aroma gula, mampirlah bila ada
waktu, kami pantang tak bersikap manis pada tamu.”

saat malam mengurung dan rembulan mengapung samar
di permukaan walennae, di langit yang kelabu terdengar
jerit elang, seperti rindu yang perih dan jauh.

di rumah-rumah beratap ijuk, di atas balai bambu,
gadis-gadis menggeliat : teringat dongeng tentang pangeran
baik hati yang dikutuk penyihir jahat jadi buaya di sungai
walennae.”di walennae kasihku, aku terperangkap janji
yang tak mungkin aku tepati.”

di antara hening daun ketapang tua yang berguling
lepas dari rantingnya, walennae merayap ke laut. di
dasarnya aku hanya dapat mengenangmu, mengawasimu
setiap pagi dan sore ketika mandi, menunggu
saat aku menjalani kutukan : menerkam dan menelanmu.

“di sungai walennae kasihku, adakah kau
tahu, mengalir cintaku padamu :
suci dan terluka.”

Makassar 2001

- walennae : nama sungai terpanjang di sulawesi selatan.
- bissu : waria pemimpin upacara animisme di tanah bugis.

Edisi 6

Asrizal Nur
(Depok - Jakarta)

Anak Duka

Aku anak duka
lahir dihimpit hutang tetua
dewasa dari luka sama
dengan kisah itu juga

aku berkepala cahaya
garis tangan kusut
tersungkur bell sekolah
terhantuk buku
ditelanjangi seragam
diusir uang bangunan

di dapur periuk merebus debu
busung lapar hidang ajal
sawah usung lumbung ke piring juragan

aku mengeja nasib di lebuh raya
menjaja airmata
sering reguk airmata pula

aku mencari rumah teduh
kadang beratap nista
bagai anak tak ada ibu bapa
pulang ? rumah hardik nasib
padahal peluhku telaga devisa

lantaran hidup mahal keringat murah
aku jadi kupu kupu besi
siang mesin kotak debu
malam ranjang biru

di tempat kerja
aku ibu baru buang ASI
anak hirup susu basi

aku pahlawan tanpa tanda jasa
dihempas gaji murah
tertatih di simpang waktu

aku suara selembut bayu
hingga ilalang jadi bunga
di pabrik suara nafas luka

aku seniman
diterkam hidup gamang
dariku taman harap tumbuh kembang

aku pengangguran kesejutasekian
bukan enggan banting tulang
mengasah akal di balik meja
pintu kerja terkunci rapat
linglung di negeri sendiri

aku pedagang kaki lima
diusir mall dan plaza
pentungan mencabik rezeki
dizalimi negeri sendiri

pada kampanye para ayah
duit bagai serakan daun kering
mengalir janji berdanau susu
telaga sembilu

ayah enggan singgah ke kotak debu
jenguk hidup di lebuh raya
sungguh sungguh membelaku dinista tetangga
merasa pedih dilempar bangku sekolah
termenung ijazah nestapa

paman mabuk maling
tiang rumah jadi sepatu
saban waktu dinding dicuri
dapur sulit menyala
tiang hilang hutang regenerasi

paman yang aku percaya
menterjemahkan airmata dalam bahasa cinta
berteriak … sering bias makna

o, aku terasing di tanah kelahiran
setiap jengkal harapan
jejak tapak ketakutan

tak ada tempat mengadu
setiap sudut ketemu hantu

lantas kemana duka aku titipkan ?

seandainya bunuh diri jalan sorga
maka rumah ini pusara

di terminal putus asa
aku menunggu Tuhan
menyeka duka

Depok, 20 Juli 2005

Atik Sri Rahayu
(Samarinda)

Jalan Panjang

Telah kulabuhkan cintaku di sungai Mahakam
bersama sisa keringat
semalam menembus belantara hutan
dari Banjarmasin ke Balikpapan
Tak ada sisa rasa gelisah
semua telah impas dibakar matahari
menghanguskan kulit tubuhmu jadi legam.

Selalu kukenang lambaian tangan
mengantarku di terminal
dengan memberi bekal ikan Seluang
karena perjalanan akan sangat panjang.

Akan selalu kukenang
banjir sungai Martapura menggenang desa Dalampagar
dan lukisan wajah Syech Al Banjari
menatapku tajam.

Kini di museum kraton Kutai Kartanegara
terasa membuka lembaran kitab lama
peradaban semakin tua
namun kita makin miskin tegur sapa.

2005


Bambang Widiatmoko
(Jakarta)

Kado Cinta

Baiklah kita tutup saja lembaran lama
rasa sesal dan dosa
rasa bersalah jadi luka
kehidupan seperti belantara
penuh duri dan ular berbisa.

Lantas kita bangun rumah
meski tidak terlalu megah
tapi ada gairah memadamkan rasa gelisah
kita lengkapi dengan taman agar betah
duduk berdua, mengukir sejarah.

Jika di luar terjadi hujan badai
kita bisa berlindung di balik tirai
betapa kehidupan perlu kita urai
agar menjadi lurus seperti rambut tergerai
dan pertengkaran menjadi mudah dilerai.

Tak ada kado cinta yang luar biasa
selain kesetiaan tanpa pulasan kata-kata
zikir dan doa haruslah tetap bergema
agar jiwa kita semerbak bagai harum Cempaka
tak ada kado cinta yang lebih berharga – selain asa.

2005

Boufath Shahab
(Bandung)

Kau Tahu Sihir Waria ?

jika sekali saja kau kerlingkan mata
akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa
pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak
di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?
maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku
aku akan telanjang bersama kupu-kupu
atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang telanjang bersamamu
mungkin akan kau temukan bekas-bekas air mata bahagia ibu
ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku
dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna
kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia
aku merindukan sebuah boneka

kini kusimpan bola itu di lemari tua
bersama tetes-tetes air mata ibu, dan seonggok tubuh perkasa yang tak pernah kuminta
karena kelak jika ada yang mengerlingkan mata, bagai kotak pandora yang terbuka
sihirku akan merajalela, penuh canda dan tawa

Bandung-Jakarta, Des. ’2005

Chairul Saleh
(Pekalongan)

Aku Masih Bertahan

Aku termangu melambung ke udara
Terbayang burung hinggap di belantara
Menari indahnya sejuk rimba
Hirup wanginya karya Pencipta
Tapi burung tak hendak kemana
Arah utara pun tak dirasa
Walau aku meng-iya meng-asa
Tuhan,
Aku terkungkung dalam jeruji waktu
Membuatku termangu dalam sayu,
Membosankan !!!
Tapi ini hidupku,
Bahwa aku bukanlah burung,
Sekedar cucu Adam hendak cari ibrah,
Kehidupan ini,
Walau musuh-musuh-Mu kadang hampiri,
Tapi aku masih bertahan diri

Malang , 29 November 2005