Rabu, 20 Oktober 2010

Kata Pengantar :



( Oleh :Jarkasi )

Di suatu Minggu siang yang cukup menyengat tepatnya tanggal 13 Agustus 2006, ketika tubuh ini dihela-helakan di pembaringan, saya kedatangan seorang penyair Arsyad Indradi dari kotaBanjarbaru. Perjalanan dari Banjarbaru ke batas kota Banjarmasin, tempat tinggalku, tidak memakan waktu lama. Ya, kalau ditempuh, sekitar 45 menit atau satu jam perjalanan. Tapi si tengah terik matahari musim kemarau – balalah ( berjalan ) — Arsyad Indradi bukan persoalan gampang. Apalagi dalam usia sesudah 50 tahun, ini orang – orang yang hanya memiliki hampadal ganal ( semangat yang tinggi ) yang mau melakukan kayuhan sepeda motor seperti ini.
Pak Arsyad langsung mengemukakan maksud kedatangannya di samping menyisipkan dua buku kumpulan puisinya sendiri. Dalam hati saya menyeru, luar biasa orang tua yang satu ini. Karya – karya puisinya terus menapaki perjalanan hidupnya. Sebuah buku tebal lebih dari 700 halaman dikeluarkan dari dalam tasnya. Pada buku itu tertera namaku sebagai salah seorang yang memberi pengantar. Aku sedikit tersanjung oleh sikap Pak Arsyad, sebab tentu masih banyak – banyak teman – teman penyair lain yang sangat handal memberikan pengantar.Apalagi buku setebal 700 halaman lebih adalah antologi puisi penyair nusantara. Lebih ciut lagi hati ini ketika harus memberikan pengantar sebuah antologi penyair nusantara. Rasanya memang tak ada ilmu untuk itu, tak ada pengalaman yang bersarang, dan tak ada gumpalan perjalan kepenyairanku – yang sedebu ini – dapat mengibarkan bendera sendiri, apalagi bendera – bendera yang saya anggap lebih dulu mampu sudah berkibar besar. Tapi aku teringat niat besar Pak Arsyad Indradi ingin menghimpun ide besar ini. Paling tidak aku sedikit dapat mengurangi kebuntuannya. Kalau aku membayangkan, gagasan ini tidak sekedar gagasan, tapi hanya kekuatan besarlah yang mau dan mampu mengerjakan ini. Sungguh saya tidak berpura di hadapan Pak Arsyad memuji apa yang dia lakukan, tapi ini sungguh luar biasa. Banyak orang hebat dan didukung biaya yang banyak bisa menghimpun karya – karya seperti ini. Tapi bagi Pak Arsyad Indradi — yang saya tahu – tidak bermodalkan materi selain semangat yang besar akhirnya mampu merealisasikan buku ini. Sempat pula terngiang sindiran bahwa gagasan Pak Arsyad kagubihan maksudnya idenya besar dan muluk tidak sebanding dengan kemampuannya. Tentu ungkapan pematah ini sering dipakai oleh orang – orang Banjar dulu, hingga sekarang masih banyak yang mewarisinya, hingga kita tak punya karya – karya monumental. Sungguh kalau tidak karena tekad yang luar biasa sudah jelas buku ini tidak terhimpun, sesungguhnya kalau tidak kekuatan ingin memecahkan batu cadas kekerasan buku ini tidak akan pernah terwujud. Sehingga saya pun tidak bisa menyembunyikan rasa salut saya untuk Pak Arsyad Indradi karena hanya dengan tekad yang besar dibungkus dengan kesahajaan semuanya bisa terwujud. Seorang penyair yakin, bahwa sajak pada hakikatnya reaksentuasi kreativitas. Reaksentuasi pada dasarnya adalah konsentrasi dan intensitas pernyataan kesan dalan bahasa yang lain. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa lewat sebuah sajak sebenarnya terlihat juga sosok pribadi penyair lengkap dengan latar kultural dan pengalamannya. Melalui bentuk sajak sebenarnya penyair telah membangun dunia dialogis yang sebenarnya mempunyai kesan tersendiri jika dipahami secara lebih intens.
***
Kita menjumpai 142 penyair dan 426 puisi yang beragam. Dapat dibayangkan demikian hiruk – pikuknya tema – tema yang dijumpai, sehingga amatlah tidak mungkin tulisan ini mampu merebut dan mengungkapkan setiap intelektual yang ada. Namun, saya amat yakin apa pun yang tertera di sini mengandung “obsesi” sekaligus pengakuan bahwa puisi berisi komitmen hidup dan pada hidup itu terdapat sesuatu yang diperjuangkan. Meski semua itu mestilah dicerna tapi bukan tidak mungkin pembaca sedikit berkenalan dengan serba sedikit dari ungkapan yang cemerlang.
Semua orang bisa kena kritik, terutama karena dilihatnya seseorang tidak logis. Istimewanya yang tidak logis tersebut adalah persoalan besar yang selalu muncul di mana saja. Tapi jangan salah dulu, sebab kritik adalah sesuatu yang kita perlukan. Apa pun medannya., sesungguhnya dalam komunikasi setiap kritik selalu berisi pendidikan.
Beda lagi dengan penyair, ia memiliki kepekaan mendalam (concern) terhadap sang Maha Pencipta. Manusia selalu diuji oleh berbagai masalah, serangan emosi dan lebih lagi nafsu. Untuk menangkis cobaan ini semua tersimpul dalam bait – bait berikut. Penyair memaknai betapa pentingnya cahaya hidup. Cahaya itu menyentuh ketika si Aku terdampar disebuah pantai.
Perjalanan meraih Rahmat dan Rezki dari yang kuasa sungguh membayangkan keikhlasan. Namun, Dia lebih menyayangi. Peristiwa itu amat dalam ia rekam dalam petikan sajak Zuhrotul Aziza Ahmadia. Dalam usia lima bulan Aziza yang amat tersayang kembali ke Pangkuan Sang Maha Penyayang (Selamat Jalan Anakku; 43).
Bagi kebanyakan penyair, sajak tersebut mungkin dianggap biasa, kurang mengental, tapi itulah saya bisa merasakan ekspresi Zuhrotul tidak sekedar ekspresi tetapi ekspresi yang memiliki histotisitas meaning.
Seorang penyair adalah seorang yang berbicara dengan orang lain tentang rasa estetik tertentu. Secara formal disusun dalam wujud kata, idiom, baris, dan bait serta disanding dengan peralatan puitik lainnya. Kadang kala ada penyair mengaku bahwa penyair itu adalah sebuah tuntutan batin. Kita ambil sebait puisi Ali syamsuddin Arsi “ Kupilih Mata Pena “ ( hal. 59) / Kupilih mata pena / dari emas murni lubuk hati ini / nuraniku berkaca- kaca/ merajah cakrawala//... Penyair hadir dengan segala bentuk kemurnian isi hati lepas dari segala kepentingan. Ungkapan verbal penyair membuktikan pernyataannya sebanding dengan emas murni yang tak ada kadar unsur mencampurinya. Sebuah tanggung jawab sosial yang vbiasanya selalu berpihak pada orang-orang awam. Beda lagi dengan ungkapan penyair lain lebih mengumbar imaji- imaji nostalgik. Sajak adalah gairah hidup dari perjalanan nostalgik itu. Sajak/.... juga menunjukkan hal itu. Terasa ada endapan pengalaman. Pengalaman itu memiliki dimensi estetik yang tunggal. Dan seterusnya ... dan seterusnya.......

Banjarmasin, September 2006
( Jarkasi, dosen FKIP Unlam Banjarmasin, Pemerhati
Seni Budaya )

Tidak ada komentar: