Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 2

Agus R Sarjono
(Jakarta)

Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan

Kita seperti puisi ya? Bisik embun di sela daun pada kabut
yang perlahan turun bersama senja. Matahari tinggal jejak
kemerahan di cakrawala. Beberapa kelelawar melintas
di antara pohonan dan rembang senja.

Bukankah kita seperti puisi! tanya embun di sela daun
pada angin yang menari bersama angin di sela bunga
Beberapa kunang-kunang berkerlipan
menggaris malam.

Apa kita seperti puisi? Atau setidaknya kenangan
ucap embun yang hampir menetes di sela daun kepada cahaya
bulan yang baru tiba di hamparan rumputan. Beberapa ikan
berkecipak malas, dalam kolam.
Rasanya kita seperti pembangunan, kata setumpuk bata
dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu.
Tentu saja kita pembangunan! Bukankah kita merdeka
dan mandiri seperti sebuah kota. Coba bikin api unggun
dari ranting dan daun-daun, biar kabut dan dingin berangkat
Biar malam sedikit lebih hanghat!

Kabut, dingin dan cahaya bulan saling berpandangan
Termangu,. Malam berjalan, selapis demi selapis. Kelelawar
kunang dan ikan-ikan melintas lamban. Apakah kita …
tapi embun itu tak berani lagi bertanya. Ia pun menetes
seperti airmata.

1996


Ahmad Muchlish Amrin
(Yogyakarta)

Dewi Masnunah (1)

Dewi, aku datang
untuk menduduki kursi kosong
di hatimu, dengan pelitur mengkilau
di malam pertama
matahari dan bulan bergantian
menyaksikan percintaan
yang nyaris sempurna
Dari langit ke tujuh
katakata turun sebagai firman suci
tidak berbunyi di dada dunia
hanya dalam cinta
Dewi, kubawakan bunga dari surga
semerbaknya membuat malaikatmalaikat
iri hingga ia membacakan syahadat cinta
dan menyuguhkan getar rindu jiwa
Di ujung bunga itu, matahari dan bulan
lain menunduk juga sebelas bintang
berkedip bila kelambu samasama
terbuka, Masnunah!
Kau dan aku melupakan warna
Meninggalkan yang tidak atas nama cinta

Malang, 2005


Ahmad Syamani
(Bandung)

Syair Perempuan

Kota bergerak mencari kata-kata
Lewat panggung pentas dalam bahasa mata
Memikat
Orang-orang di sini masih menjadi jam
Tidur
Penuh sandiwara murahan

Lihat, salam hangat perempuan
Lentik matanya
Ketika sedikit kata-kata menari
Sampai jejak pintu pentaspun memanggil
Namanya, dengan tekun

Dengarlah, robekan tepukan mengucurkan
Teriakan, ada senyuman diperdengarkan
Untukku dan lampu-lampu kehilangan warna
Kehangatannya, kerinduannya
Sampai kudengar kau mengigau di luar teras
Puisi

Kota-kota kabupaten melewati beribu tapak
Pohonan merah
Kau yang mengatur ruangan kata
Dalam gerak seni
Tanpa kehilangan kodrat.

Subang, 25 September 2005


Ahmad S. Rumi
(Banten)

Negeri Bandung

Di negeri Bandung
Puisi cukup mahal
Jalannya beraspal
Jalurnya ditunggu preman
Redakturnya amat terkenal

Di negeri Bandung
Aku punya kawan
Namanya lukman dan dadan
Kata sitok, lukman penyair berbakat

Tapi lukman berkasus dengan Indonesia
Dan dadan tidak

Di negeri Bandung

Dan dadan seorang demonstran
Ada kampus terkenal
Dekat galeri popo iskandar
Mahasiswanya tenartenar
Terutama dalam kepenyairan
Padahal dosennya tidak terkenal

Di negeri Bandung
Cerita ini khayalan

Pandeglang, Banten 2005

Tidak ada komentar: