Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 30

H. Sjachrani Mataya
(Kotabaru - Kalsel)

Bersama Mengayuh Bahtera

Limapuluh tahun yang lalu
Kularutkan sebuah kapal di hulu rumahku
Yang dirajut oleh benang kasih sayang orangtua kita
Ketiak gerimis menggesekkan daun
Dalam serbuk hujan
Menyampaikan salam semesta
Ku genggam filosofi kearifan
Dan kasih sayang
Yang diajarkan para guru
Dalam setiap langkahku

Masih limapuluh tahun yang lalu
Ketika isyarat itu kurasakan
Betapa panjangnya perjalanan sebuah penantian
Pelyaranyang bergonta-ganti nakhoda
Pelabuhan selat karang menanti sepi
Menunggu puteranya kembali

Sjachrani kecil masih suka bermain gapu
Membuat istana pasir
Merajut mimpi dengan lunta
Atau bermain perang-perangan
Menyerukan azan dari surau ke masjid
Seperti memainkan sebuah melodi
Menulis mimpi masa depan
Setinggi puncak sebatung
Menjalani hidup
Melewati semua ujian
Merasakan semua kepahitan
Selalu dengan air mata

Tuhan memberiku ujian
Tetapi selalu diberikan jalannya

Ketika usiaku memasuki tahun emas
Selat laut memberiku salam ombak
Ketiakbumi saijaan menggoreskan sebuah peristiwa
Dipundakku diserahkan sebuah tanggung jawab
Menakhodai kapal saijaan
Yang tetap harus berlayar
Melewati pergantian jaman
Merombak sistem kebekuan
Dari orde keorde berikutnya

Dalam sujud syukurku
Terbaca peta pengabdian, sebuah tekad
Membangun negeri saijaan
Mengejar ketertinggalan
Membuat jembatan sejarah
Seperti lintasan kereta di negeri sakura
Membaca aksara kata
Membangun peradaban generasi
Mendekatkan desa dan kota
Menyelaraskan mimpi dan musim
Dan kemakmuran kehidupan

Masih dalam tafakurku
Kukayuh bahtera ini bersama ribuan tangan
Mengarungi medan bakti, aku tidak sendiri
Karena, warga saijaan bersamaku
Terima kasih, tuhan
Allahu akbar
Majulah kotabaru

ditulis di Kotabaru, 5 Januari 2006
setelah terpilih sebagai Bupati Kotabaru
pada sidang Paripurna DPRD Kabupaten Kotabaru


Slamet Rahardjo Rais
(Jakarta)

Salam Matahari

matahari senantiasa kepadaku mengirimkan
salamnya dan letak ihlas sujudku
tanpa batas untuk bersabar
maka semua detak
baca dan simpan atas percakapan

semua yang lewat mengajariku
untuk memasuki tasbih mata langit
dzikir kota-kota yang gelisah
anak-anak yang berlarian
menjauhi pintu jendela rumah

mengajariku agar burung mawarku terbang
berjabat tangan
ke tiang-tiang pasar berteriak
kereta api dan bis kota yang membengkak
berjejalkan pikiran suara kehendak
dan sedemikian perkasa membunuh
tumpukan keputus-asaan
dengan mengunyah
semua hamparan sujudnya yang pasrah
dirinya terowongan tawakal terang

belajar terhadapnya
sedikit tersungkur meminta ruh peristiwa
dan membuat hujan
atas tetesan-tetesan air pancuran
memadamkan keluh kesah yang terbakar

Jakarta. 11.2005

Sosiawan Leak
(Solo)

Negeri Kadal

negri kami negri kadal
negri yang tidak pernah sepi dari juluran lidah
menjelma dasi,panji-panji hingga janji-janji
yang selalu terpelanting bacinnya ludah
sambil melata, kami mengendap
sesekali menelikung lawan juga kawan

negri kami negri kadal
negri yang bersemak rempah
berbelukar baha tambang, berrerimbun hutan
namun selalu lapar
dengan pertikaian dan asap tebal
dari berbagai kayu bakar
; agama, harta dan kekuasaan

kami selesaikan masalah
hanya lewat desis dan kata-kata
sedang tindakan tersembunyi dengan sempurna
di ujung ekor yang tak berdaya
menjelma bom, meledak sembarangan,
curiga mulus beranak pinak di sela sisik
malih rupa ketakutan
yang tak pernah terungkap di pengadilan
di negri kadal

solo, 19 september 2000


Suarta Bagiada
(Mataram)

Semerdu Rindu

Lantunan nyanyian rindu
rona sendu
(kenang-kenangan kala itu)
meremas nurani, yang tersangkut di sana,
ini lamunan tak berbingkai
dalam lengkung biru langit
biru laut-biru buru bayang-bayang
setandan sapa padanya,
setandan doa untunya,
setandan cita buat hari esok
meski renta akhirnya harus dijelang
“selamat malam dewi suka”
pada megah bulan ada seuntai makna
nyanyian semilir, anggukan bunga-bunga taman
paduan itu tak hendak berdusta.

- Tanjung, 1992

Tidak ada komentar: