Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 15

Inggit Putria Marga
(Lampung)

Melihat Awan di Jalan

Taburan burung gereja
Dibawah
Awan kota

Lingkaran semesta

Yang berlarian, menenggelamkan jalan
Yang berjalan, lebur di pelarian
Di padam lampu
Memenuhi tujuan mata sepatu

Namun, tak berlaku
Bagi yang menunggu

Pergi dan kembali
Hanya sebagian komposisi

Juga burung,
Yang terbang dan mati

Di kota ini

Mei, 05


Isbedy Stiawan ZS
(Lampung)

Jadi Burung Di Ruang Ini

di ruang ini aku jadi burung
sedang kau sebagai sarang
lalu bagaimana bisa
burung pergi dari sarang ?

maka aku mengeram di dalammu
aku beternak ruh yang
bersayap di masa datang
kepakkan segala kata

jadi kalimat
rimba keramat
yang kau eram pula
sehabis hujan luruh
di luar rencana …

aku jadi burung di ruang ini
mengeram di sarangmu
beternak kalimat – kalimat
dusta,
tumbuh sayap di masa datang
yang pulang dengan kaki patah

merimba keramat …

21-22 Juli 2005

Jimmy Maruli Alfian
(Lampung)

Merajang Lajang

PERAWAN : Inilah tanahku, tak pernah tandus ! mata air,dan rahim yang sopan memilih percintaan

BUJANG : Aku ingin dilupakan dari takdir, tak perduli harum rahim ataupun mata air tempat pemandian terakhir. Aku pertapa dengan nafas sengal dan asmara yang bebal

PERAWAN : Tempo hari, hasrat seperti apa yang ingin kau jerat?
Karena genit, kita diusir dari surga. Pindah ke kota yang hanya ditanami pepohonan kaktus dan cinta yang tandus.
Kau ingin es buah ?

BUJANG : Seharusnya dulu aku tak perlu mengenalmu. Cerita pilu membuat darah bergenang di jantungku !

PERAWAN : Dan kau harus menanggung kesalahan untuk semua angan-angan !

BUJANG : Tak ada benar salah dalam keiinginan.

PERAWAN : Tapi, seekor ular diketeduhan surga, kelak membuat resah dua anak lelaki kita. Lalu kebencian menjadi kaca setiap perjumpaan.

BUJANG : Aku haus. Segala cemas sepanjang umur akan kutanggalkan,
Boleh aku hisap putingmu ? Ada yang bilang, dadamu muasal ingatan. Tapi bagiku, merah putingmu merupa pangkal embun jatuh kebatu.

PERAWAN : Aku lamunkan luka di segala keindahan. Dau kau, akan gembira menamainya perjuanagn.

BUJANG : Hijrah burung-burung. Menandakan ada lumbung di ujung jantung.

PERAWAN : Alah mak jang ! Kau penyair ?

BUJANG : Kau hitung, berapa banyak nyeri yang membuat kita berulangkali bunuh diri! Mungkin, ratusan.Itulah sebabnya, aku ingin mangkir dari takdir.
Setiap waktu, mendaki puncak mendorong batu. Sampai akhirnya dijatuhkan lagi menyusuri sepi.

PERAWAN : Kau mulai sentimental.

BUJANG : Bukan! Lepas dari sesal, aku ingin tahu berapa lama usia kenangan mampu bertahan dalam ingatan ? Karena pikiran terkadang menutupi tubuhnya dengan suara hujan dan remang malam.

PERAWAN : Aah, apakah semua penyair ngaco dan sentimentil?

Sudahlah, kau masih haus ? Buka mulutmu, ada celah daging yang membuat dapat menyelinap dari segala ratap.
Jangan sekali-sekali kau tanyakan tentang kenangan.

Depok, 2005


Jose Rizal Manua
(Jakarta)

Bulan Sepotong Meronda Kota Jakarta

Hari-hari, minggu-minggu
tahun-tahun belakangan ini ;
masyarakat sibuk kasak- kusuk
mass media asyik kipas-kipas

Bulan sepotong meronda kota Jakarta
sambil melagu malu-malu :
“ya yaya ya yaya
ya kredit ya macet
ya yaya ya yaya
ya kejepit ya kejencet”

Mereka bergunjing di rumah-rumah, di hotel-hotel
tentang moler,sawer, dower, teler, ngeper dan besar
tentang sogok, mogok, pasok, momok, rampok dan gorok
kisah sekamar melar sepasar

Hari-hari, minggu-minggu
tahun-tahun belakangan ini ;
masyarakat sibuk kasak-kusuk
mass media asyik kipas-kipas

Bulan sepotong meronda kota Jakarta
sambil melagu ragu-ragu :
“ya yaya ya yaya
ya narko ya tikno
ya yaya ya yaya
ya narkotik ya no no”

Mereka bergunjing di kampus-kampus, di kantor-kantor
tentang cekal, mental, jegal, kapal, rudal dan tumbal
tentang doping,shoping,jogging, kancing, beking dan jaring
kisah sekota melar sebenua.

Jakarta, 22 Juni 1993.

Tidak ada komentar: