Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 22

Nur Azizah
(Jakarta)

Kalian, Tak Lagi Bernama

Berhari kupikir puisi apa yang pantas untuk kalian
Seonggok janin yang kita tanam dalam rahim yang kita paksa sama
Akan pergi bersama debu-debu kayu yang membakar jasad Ibrahim

Berlarut kufahami
Apa yang tak kudapat dari-Nya
Semua
Termasuk kalian
Gemuruh
Muntahan darah
Makian ombak
Layang-layang roh
Menjauh tinggi
Membayangi sunyi dalam suci dan wangi

Tiada lagi
Merdu laut mendayu
Tiada lagi murka, marah, tawa bernama
Semua serba hitam, dan lari, jauh.

Kawan,
Sungguh,
Makna kalian tak terucap
Tersimpan hangat
Dalam sanubari
Yang kian nikmat.

29 Juni 05

Nur Wahida Idris
(Yogyakarta)

Tubuh Gaib
: olivia Laurent

memahamimu
seperti memaknai gerhana
dimana wujud gelap tertangkap
tapi terlepas dari pandangan
dan kau dianggap tak ada
kalau kuberikan kau setangkai bunga
lalu terpegang durinya
apa beda jerit kita ?
mungkin setitik darah
sedetak waktu yang menyerap kepedihan
membuat tubuh kita tak lagi gaib
— kulahirkan seorang anak
kau lahirkan anak wujudmu sendiri
retakan perut dan keratan di dada
jadi garis nasib
membuat angin di raut tubuh
menolak cermin, merajam bayangan
tapi udara di ufuk angan
tak akan terhapus
segala yang tak diinginkan
dan dianggap tak ada
terbit dari mata anak-anak
yang menyusu

sawit-yogya, 2005


Prakoso Bhairawa Putra S
(Palembang)

Bercerita Sekawanan Camar
;episode Tiga

pagi baru saja bermula bersama kepak sayap sekawanan camar
mengiring nyanyian anak pesisir yang malu
bercengkerama dengan ombak
dan menarikan saman diantara riak gelombang
yang selalu menjilati telapak mungil mereka

di timur sinar matahari masih satu-dua mencumbui bibir pantai barat Aceh
kepak camarpun terlalu berat buat mengangkasa
tapi interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia
telah memaksa bocah pantai berlari
mengemasi ikan-ikan yang tak bisa berenang
lantaran air laut tiba-tiba lenyap
“ aku tak bisa mencegah mereka”
seekor camar tersudut hampa memandang
perkampungan nelayan yang kini rata

sekawanan camar coba menerbangkan diri lebih tinggi
butir partikel derita anak tanah rencong
memulai hingga ke langit dan mengirim nyeri keseluruh tubuh
di Meulaboh sekelompok camar kecil berputar
ada ribuan malaikat pengangkut roh di sana
berjaga diantara ratap, tangis dan puing tsunami
siap membuat jiwa putih naik ke surga

camar mulai tak sanggup bercerita
“ dua generasi hilang”
camar besar terbata

cinta para peri ada di mana
pada laut Aceh dengan kapal induk asing
atau pada tanah perjuangan Cut Nyak Dien
dengan dipadati kamp hijau pengungsian
dan ditiap jengkal bumi serambi
telah sesak oleh kuburan massal
sedang rumah pesisir tak bisa diandalkan
“ camar besar, matahari telah mengirim cahaya
pembasuh tiap rona anak-anak Aceh
daratan telah diluluhlantakkan tapi di hati
mereka tertancap asa keceriaan muda
camar, mari terbang ada yang harus dibangun di sana!”


Puput Amiranti N.
(Surabaya)

Menuju Bulan

I. malam merekam pucat bayangan
suara-suara ketakterhinggaan
timbul tenggelam, tubuhku menelikung
remuk
oleh keberadaan waktu
hanya mitos-mitos kelelawar

II. mungkin kita saling berciuman
di bawah bulan tak mengenal
tubuh kita perdu terbakar
cahaya-cahaya lalu lalang
menggambar bayangan sendiri
gedung-gedung ingatan pecah di arus matamu
penglihatan yang tak kita yakini

III. kita tak lagi hujan
kita tak lagi sunyi
selain merangkum kemarau bimbang
di patahan ranting, benak kita licin
lebih terjal dari impian bibir musim
sementara pantulan-pantulan gema
kita terbang
terbaring, seperti ular yang baru dijinakkan
tanpa gairah apa-apa
selain bukan keinginan tak berdosa

Surabaya, 2004

Tidak ada komentar: